Thursday, 14 February 2008

Memobilisasi Sumber Daya

Dalam banyak pernyataan formal atau pun non-formal, anda mungkin sudah seringkali mendengar pidato-pidato pejabat atau pun pimpinan perusahaan bahwa sumberdaya manusia atau human capital adalah asset utama organisasi yang dapat menggantikan dominasi asset modal seiring dengan pergeseran turbulansi global. Ditinjau dari kebenaran substansi materialnya, jelas pernyataan tersebut benar terutama di negara-negara di mana seluruh aspek kehidupan masyarakatnya memiliki kandungan pengetahuan tinggi. Henry Ford atau Walt Disney bahkan sudah sejak lama mengakuinya. Hal ini terungkap dalam ucapan: "You can dream, create and build the most wonderful place in the world but it requires people to make the dream a reality."

Tapi dalam kenyataannya, apakah anda sudah merasakan aplikasi pidato tersebut dalam pekerjaan sehari-hari? Atau dengan kata lain bagaimana relevansi dan validitasnya terhadap situasi konkrit yang anda geluti setiap hari? Jika kenyataannya pimpinan anda ternyata lebih gelisah ketika kehilangan mesin fotocopy ketimbang harus memecat anda, maka teks pidato tersebut tidak valid bagi anda. Lalu dimana sebetulnya letak kesalahannya? Jangan menyalahkan teks pidato, tetapi mulailah bertanya kepada diri anda, apakah selama ini anda menerima reward dari perusahaan atau orang lain karena anda bekerja keras atau karena anda menciptakan solusi dengan kecerdasan anda. Jika jawaban anda membuktikan bahwa reward diperoleh dengan cara mengeluarkan tenaga secara konvensional yang dikomandoi dengan cemeti jam kerja dan pembatasan tugas dan tanggungjawab atau bekerja berdasarkan instruksi semata, maka human capital seperti itu bagi organisasi lebih tepat disebut cost, bukan asset. Oleh karena itu dapatlah dimengerti jika seorang atasan tidak ragu untuk memecat anak buahnya.

Faktor Pembeda

Awalnya semua manusia diciptakan sama dalam hal sama-sama memiliki “The Basic Principle of Human Capital” dalam bentuk keunggulan dan keterbatasan hidup. Kemudian sedikit demi sedikit dibedakan oleh faktor-faktor kecil hingga akhirnya terjadi perbedaan diametral antara pencipta problem dan pencipta solusi; antara menjadi asset dan menjadi cost. Faktor pembeda tersebut tidak lain terletak pada bagaimana anda melakukan berbagai upaya untuk memobilisasi sumber daya yang anda miliki. Pada saat anda berhasil dalam memobilisasi sumber daya yang anda miliki, maka pada saat itu pula sumber daya anda akan menjadi asset suatu organiasi atau perusahaan bahkan bagi diri anda sendiri. Jika anda berdiam diri dan membiarkan sumber daya tersebut mencari celah kompensasi sendiri di lapangan maka dapat dipastikan bahwa asset tersebut dapat berubah ke dalam bentuk yang sama sekali tidak memiliki relevansi apapun dengan cita-cita, tujuan, target dan rencana anda. Dengan kata lain, selama potensi yang anda miliki tidak dimobilisasi dengan baik dan hanya menunggu nasib baik menghampiri anda maka potensi tersebut tidak akan pernah menjadi asset. Oleh karena itu, buanglah jauh-jauh pendapat bahwa pembeda itu berupa nasib, takdir, atau apapun namanya sebab nasib atau takdir tidak merasa dirinya pembeda seperti yang anda pahami.

Beberapa Kiat

Untuk dapat memobilisasi human capital anda, ada baiknya anda ikuti cara-cara berikut ini:

1. Menggunakan


Human capital adalah anda dan kehidupan yang anda miliki. Tidak saja sebatas keunggulan bahkan keterbatasan andapun bisa menjadi keunggulan ketika anda menemukan jawaban dari why di balik lipatan what bahwa nothing happens by accident; atau ketika anda telah menemukan pemahaman baru dari sesuatu yang biasa dilihat oleh anda dan orang lain sebagai hal yang biasa-biasa saja. Tetapi terus-terang sumber daya tersebut masih berupa potensi dasar yang menunggu tombol aktivasi untuk di-ON-kan atau ibarat Gold yang menunggu sentuhan Gold Mind supaya memiliki nilai jual yang fantastis.
Dalam teori Electrical Engineering, potensi dasar masih berupa potential energy dan agar menjadi actual energy, maka harus diaktifkan terlebih dahulu. Ibarat battery, selamanya tidak akan menciptakan setrum yang menghasilkan cahaya kalau tidak diaktifkan. Sindiran bijak mengatakan: “Pengetahuan yang tidak diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah”. Artinya pohon tersebut lebih berupa beban daripada asset. Sama halnya dengan potensi dasar yang anda miliki. Tanpa sentuhan kreativitas, kecerdasan, ketahanan, dan kegigihan mengasahnya, maka keberadaannya adalah beban. Tidak sedikit contoh yang bisa anda saksikan. Banyak ornag yang frustrasi bukan karena perlakuan keadaan tetapi tidak ada yang cocok untuk dilakukan terhadap keadaan tersebut meski ia memiliki begitu banyak potensi.
Potensi dasar yang dimiliki semua manusia sangat variatif tergantung dengan disiplin atau pendekatan yang digunakan. Dasar pengembangan diri dimulai dari keyakinan ilmiah bahwa di dalam diri anda sudah diciptakan kemampuan untuk memiliki job skill dan mental skill. Management SDM diawali dengan keyakinan ilmiah bahwa anda memiliki software skill di samping juga hardware skill. Anda punya potensi dasar mulai dari fisik, mental, emosional, intelektual, spiritual, material, visual, moral, atau akses eksternal. Anda hanya tinggal menentukan manakah di antara potensi tersebut yang menjadi keunggulan anda.
Menggunakan human capital identik dengan upaya mencerdaskannya melalui proses belajar (learning), bukan sekedar sentuhan pendidikan baik formal atau non-formal. Artinya learning adalah proses mengubah ketidakmampuan masa lalu menjadi bentuk kemampuan baru. Learning bukanlah seperti mengisi kerancang yang kosong supaya penuh tetapi seperti menyalakan api. Learning juga merupakan penemuan sebab-sebab atau faktor yang membedakan antara sesuatu yang berakhir dengan kesuksesan dan kegagalan. Atau secara singkat bisa disimpulkan bahwa learning adalah sebuah proses realisasi gagasan secara bertahap berdasarkan perkembangan kemampuan anda.

2. Menjadikan


Masalah hidup yang nilainya mungkin sama besar dengan persoalan jodoh adalah sebutan apakah yang kelak bakal anda sandang. Sebutan dan pasangan hidup, menurut Dale Carnegie merupakan dua hal yang anda peroleh setelah menempuh proses pemilihan secara benar. Alasannya sangat jelas karena keduanya akan menjadi tempat di mana anda mencurahkan energi pengabdian. Semua bayi dilahirkan ke dunia tanpa sebutan atau embel-embel apapun, sampai ia bisa menggunakan keunggulan human capital yang dimiliki dengan menempuh proses hukum petani kemudiann barulah sebutan atau embel-embel tersebut diberikan. Oleh karena itu sebutan tidak dimiliki oleh mereka yang hanya dimotivasi kepentingan jangka pendek dengan dalil logika perut.
Pakar psikologi, termasuk Dr. Maxwell Maltz mengistilahkannya dengan Identity (identitas). Ia mengatakan: “One of the things person hold most important is the identity, - that they will behave in accordance with the definition of themselves or their self-image. Tugas anda adalah menciptakan identitas diri dengan menggunakan human capital. Hidup tanpa identitas yang didasarkan pada penggunaan human capital diistilahkan oleh Mark Twin bagai neraka yaitu ketika Tuhan telah menganugerahkan visi yang jelas dalam satu paket human capital tetapi dihambur-hamburkan, dan prestasi yang seharusnya bisa diraih gagal diperoleh karena selam hidup tidak melakukan tindakan apapun.
Setelah anda menggunakannya dengan cara dan di dalam hal yang tepat berarti proses terciptanya identitas diri sedang berlangsung . Misalkan anda memiliki potensi postur fisik bagus. Jika anda melatihnya dengan cara-cara yang ditempuh para atlet sesuai disiplin yang ada lalu anda menggunakannya di bidang keolahragaan, maka sebutan atletik sangat rasional bakal anda sandang. Sampai ketika anda tidak menjadi seorang atletik pun karena alasan-alasan khusus, dunia sudah membenarkan langkah anda. Atas dasar sebutan inilah anda akan menerima reward dari orang lain yang oleh para pakar pengembangan pribadi disebut “to attract success” bukan “to pursue” yang memiliki implikasi memakan cost lebih tinggi.

3. Memberikan


Seorang dokter disebut dokter bukan ketika ia menerima sertifikat kedokteran tetapi ketika ia memberikan benefit medis kepada pihak-pihak yang menjadi pasiennya. Seorang businessman disebut pebisnis ketika telah memberikan benefit bisnis kepada customernya. Tokoh bisnis international, Peter Drucker pernah menuturkan: "the purpose of business is to create customer". Artinya benefit bisnis tidak lain adalah berupa solusi atau sesuatu yang membuat orang lain merasa beda. Besar-kecilnya nilai benefit bagi customer akan menciptakan rate of return setimpal bahkan lebih atas sebutan anda. Maka berjasalah tetapi jangan minta jasa.
Bagian dari hukum yang mengendalikan dunia ini adalah The Law of Paradox, (John Heider dalam The Tao of Leadership, London: 1986). Salah satu dari bentuk paradoks tersebut adalah bahwa jika anda memberi tidak berarti kehilangan melainkan mempunyai. Tetapi sayangnya paradoks tersebut berlaku pada level realitas esensial yang diistilahkan agama dengan invisible value, atau menurut Reg Regan, penemu Action Learning, disebut sebagai Reflection yaitu new understanding about something. Realitas esensial adalah realitas hikmah di mana keberadaannya ditutupi sekian data, atau fakta. Maka jangan heran, ketika anda tidak bisa beramal dengan harta, jiwa atau ilmu, bisa jadi beramal dengan senyuman pun sulit. Persoalannya bukan pada apakah anda memiliki atau tidak tetapi semata karena realitas yang anda huni.
Dunia ini mengandung lapisan realitas yang bisa dikastakan menjadi lapisan permukaan, lapisan tengah, lapisan dalam. Setiap lapisan memiliki dalilnya masing-masing. Dalil lapisan permukaan bukan berbunyi memberi berarti mempunyai tetapi untuk mempunyai harus dengan cara mengambil dari orang lain, bahkan kalau perlu dengan paksa. Sang pujangga, Ronggowarsito, menggambarkannya dalam “Zaman Edan”. Dalam zaman edan tersebut, kalau anda tidak ikut-ikutan edan, anda menjadi sendirian tanpa bagian. Tetapi, lanjut Ronggowarsito, jangan lupa di balik realitas permukaan itu masih terdapat realitas esensial yang berdalil: “sehebat-hebat anda menggunakan cara merampas untuk mendapatkan hak, maka tidak akan melebihi kehebatan jika anda memperolehnya melalui jalan memberi solusi".
The power of giving seringkali dilupakan karena nafsu egoisme yang kuat untuk mendapatkan. Hal ini seringkali membuat orang mengabaikan cara-cara yang pantas dalam mendapatkan sesuatu. Oleh karena itu, temukan cara ilmiah dan wajar untuk mendapatkan sesuatu kalau anda mengharapkan kasta realitas yang terhormat. Cara tersebut adalah business of selling dengan menciptakan paket pelayanan solusi bagi manusia lain yang membutuhkan sesuai dengan sebutan/identitas yang anda miliki. Jangan lupa, paket pelayanan solusi tidak sekedar tahu atau pernah belajar, tetapi dalam bentuk tindakan nyata.

Dengan pemahaman terhadap cara-cara memobilisasi sumber daya yang dimiliki diharapkan bahwa anda akan mampu mengaktualisasikan diri secara optimal baik dalam pekerjaan maupun dalam persoalan hidup sehari-hari. Dengan jumlah penduduk negeri ini yang demikian besar maka alangkah besar potensi yang kita miliki. Oleh karena itu mari kita bersama-sama merubah potensi tersebut menjadi asset. Mari memulainya dari diri kita sendiri. Selamat mencoba dan semoga bermanfaat bagi kehidupan anda.

Monday, 4 February 2008

Pola Pemahaman Masyarakat dalam Beragama


Bila melihat pemahaman masyarakat desa dalam memahami agama tidak bisa dipisahkan dari kultur masyarakat desa tersebut. Mesyarakat desa yang sering diidentikkan dengan kekunoan, kampungan, ketinggalan zaman, atau apalah namanya yang pada intinya menganggap mereka masih kelas dua bila dibanding dengan masyarakat perkotaan. agama yang berkembang di lingkungan masyarakat desa pun demikian, kecenderungannya budaya atau kebiasaan di masyarakat desa tersebut pastilah mempengaruhi cara mereka beragama.

Menarik bila kita berbicara tentang pemahaman masyarakat dalam beragama di wilayah gunung Kawi. pikiran awal kita bila membincang tentang gunung Kawi pastilah tertuju pada tempat wisata religi di tempat tersebut. sebuah tempat yang asri dan sejuk yang rasanya tidak salah bila menyebut tempat ini sebagai pelepas dahaga pikiran kita.

melihat pemahaman masyarakat di wilayah gunung kawi, kami mendapat paparan dari seorang peneliti yang telah lama meneliti fenomena masyarakat di daerah tersebut. beliau memberikan paparan bahwa pemahaman umat muslim dalam beragama di tempat ini di bagi menjadi 3 (tiga) yakni: abangan, kuningan dan putihan. abangan adalah cara pemahaman sebagian masyarakat yang masih kental akan pengaruh budaya leluhur di wilayah tersebut. kaum abangan dapat disebut juga islam kejawen, yakni islam yang masih mempertahankan kultur budaya jawanya. berbeda dengan abangan, kuningan adalah pemahaman masyarakat tentang agama yang mengkombinasikan antara agama dan kultur budaya tradisional masyarakat tersebut. kaum kuningan sering didentikkan dengan kaum santri atau generasi muda. sedangkan putihan adalah cara pemahaman masyarakat yang tak tercampur dengan yang lain (masih putih/bersih).

di tempat ini terdapat makam yang sangat disakralkan oleh penduduk setempat. yang menyebabkan gunung kawi dipandang sebgai tempat yang kurang baik oleh sebagaian besar masyarakat di malang ataupun di luar malang adalah kaum abangan yang menyalah gunakan tempat sakral ini. kaum abangan yang masih percaya akan animisme, membuat tempat ini sebagai tempat permintaan kepada leluhur mereka. berbeda dengan kaum santri dalam hal ini kaum kuningan yang lebih membuat tempat ini sebagai tempat beribadah kepada Allah dengan cara istighasah, Tahlilan ataupun hal lain yang tidak menyimpang dari agama.

Dalam bidang sosial, masyarakat sekitar tempat wisata ini sangatlah terbantu. semakin banyaknya wisatawan masyarakat sekitar banyak yang membuka bisnis serta nayak pula berceceran pengemis di jalan menuju tempat wisata. lalu bagaimanakah ini dalam mempengaruhi pemahaman mereka dalam beragama?
Sepengetahuan penulis, agak sulit bila melihat gairah beragama di daerah ini. materi masih di tempatkan sebagai tujuan hidup. malah kita akan merasa miris bila sebagian masyarakat malah membuat pandangan yang menyimpang tentang daerah ini semakin baik. kultur abangan yang berasal dari golongan tua hampir akan membangun kembali tempat yang mereka sakralkan, namun hal itu dapt dicegah oleh kaum kuningan dan pemerintah.
Terakhir, kita sebagai manusia yang berakal dan beragama sudah selayaknyalah membimbing saudara kita yang masih minim dalam keagamaannya, marilah kita belajar dan semoga keimanan kita makin kuat.
tq