Tuesday, 25 May 2010

Integrasi Sains dan Al-Qur’an

Suatu ketika Muhammad berkata: “Setiap anak yang baru lahir, adalah dalam keadaan suci, tidak berdosa maka orang tuannyalah yang menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi” (H.R. bukhari Muslim). Pengertiannya bahwa pada dasarnya anak didik yang akan masuk melalui sebuah system pendidikan tertentu adalah bersifat “neutral” laksana kertas putih tergantung tulisan apa yang akan dicoretkan di atasnya. Hadist ini sudah mengidentifikasikan perlunya suatu kurikulum yang memadai bagi terjaminnya mutu manusia yang diproses di dalamnya secara komphrehenship terpadu antara batin dan jasmani, antara inteletual dan spiritual, antara kebutuhan materi dan kebutuhan kerohanian, antara masa depan dan masa kini, dan seterusnya. Maka atas dasar sinyalemen tersebut sebaiknya norma-norma religi (yang mengandung kebenaran hakiki) merupakan jantung dari sebuah system pendidikan khususnya di Indonesia dimana masyarakatnya masih mempercayai bahwa agama merupakan kebutuhan azazi manusia (ingat di barat mereka sudah tak peduli dengan norma itu disebut sekuler).

Kebenaran pada hakekatnya merupakan sesuatu nilai yang senantiasa dicari manusia dalam rangka untuk mendapatkan kuwalitas hidup seperti rasa damai, kemudahan hidup, keadilan, persamaan hak, dan sebagainya. Untuk mewujudkan hal tersebut berbagai usaha telah banyak dilakukan manusia sejalan dengan berkembangnya kebudayaan manusia itu sendiri, mulai dari manusia tak mampu menciptakan teknologi (primitive) sampai saat ini dengan teknologi yang demikian canggih (modern). Kemajuan yang demikian cepat tersebut tak lepas dari peranan adanya kebenaran yang diciptakan oleh apa yang disebut dengan science yang kemudian mampu menciptakan teknologi itu sendiri, khususnya hard technology (kedokteran, pertanian, keteknikan, dsb). Kemajuan yang demikian pesat yang dikembangkan oleh ilmu eksakta tersebut nampaknya telah menginduksi bidang-bidang sosial (soft sciences) untuk menciptakan teknologi sejenis dalam bidang sosial yang disebut sebagai soft technology (ekonomi, sosial, politik, dsb). Dalam perjalanannya kedua bidang yang untuk mendapatkan tingkat kebenarannya tersebut sekalipun masih berada dalam dimensi science, namun seringkali mewujudkan paradigma yang berbeda dalam mewujudkan dirinya. Hal ini tidaklah mengherankan karena khususnya dalam bidang sosial, tergantung aliran (madzab) mana yang diikutinya, sehingga seringkali terjadi didapatnya nilai kebenaran yang saling tubruk (antagonistik). Munculnya dinamika masyarakat yang seringkali terjadi collaps nya suatu bangsa adalah sebagai akibat dari adanya adopsi soft technology tertentu dalam masyarakat atau bangsa tersebut, yang ternyata belum tentu sesuai dengan budayanya baik dalam hal yang menyangkut filosofis pemikiran, tabiat atau karakter, bahkan ketersedian pranata sosial yang harus ada untuk bisa dioperasikannya sebuah teknologi sosial. Korban lain dari salah pilih terhadap sebuah teknologi adalah kemajuan science itu sendiri menjadi terhenti, sehingga bangsa atau masyarakat tersebut akan stagnant dibandingkan bangsa lain, dan akhirnya ia hanya menjadi konsumen produksi teknologi bangsa-bangsa lain dengan konsekwensi jangka panjang mengingat teknologi yang sudah dijual ke pasar akan diganti teknologi lain yang lebih menarik demi terciptanya pangsa pasar yang baru.

Dengan alasan tersebut di atas maka menjadi jelaslah bahwa seberapa tingginya sebuah nilai kebenaran yang diproduksi oleh science tetap ada keterbatasannya atau kekurangannya atau dengan kata lain tak akan mampu mendapatkan kebenaran 100 persen. Dengan demikian selama ini kita telah hidup dalam sebuah zaman dengan menggunakan sebuah alat yang disebut science tersebut yang diketahui tak akan pernah sempurna dalam memecahkan problema atau kepentingan hajat hidup manusia. Tingkat kesalahan tersebut akan semakin besar manakala kita mengembangkan sebuah teknologi lunak (ekonomi, sosial, hukum, dll) mengingat sulitnya melakukan identifikasi variable yang menjadi kunci untuk berjalannya sebuah teknologi, bahkan banyak kasus menunjukkan hasil yang negative setelah teknologi lunak tersebut diintroduksikan karena tidak diketahuinya dengan jelas system yang berjalan secara nyata dalam masyarakat. Kalau hal tersebut kita teruskan tanpa mau melakukan evaluasi dari kegagalan dan ketidak sesuaian masa yang lalu maka tentu akan menjadikan bertumpuknya berbagai permasalahan sosial yang semakin ruwet di masa depan, karena sebuah teknologi sosial bilamana telah diadopsi suatu masyarakat akan sulit ditarik kembali untuk diganti yang lain dibandingkan teknologi keras yang mudah digonta-ganti.

Dalam rangka menjembatani kesenjangan ketidak mampuan science untuk mendapatkan kebenaraan hakiki tentang sesuatu nilai tertentu, maka perangkat lain yang selama ini sudah ada dalam masyarakat dimanapun mereka berada, yakni dikenal dengan istilah religi atau agama perlu dioptimalkan peranannya. Salah satu religi yang mampu membimbing dan memberikan informasi tentang bagaimana seharusnya manusia mengelola diri dan lingkungannya sesuai dengan peruntukannya adalah Islam, yang dikodifikasikan melalui Al-qur’an dan As-sunnah. Sampai detik ini kedua sumber kebenaran tersebut belum banyak dimanfaatkan manusia abad modern untuk meningkatkan kuwalitas hidupnya, sementara para pemeluknya (kaum muslimin) hanya mampu mengadopsi nilai-nilai yang bersifat penyembahan (ubudiyah) berupa ritual yang ternyata belum berdampak positif pada kehidupan sosial bermasyarakat. Seperti halnya science, Islam bersifat terbuka dan dapat diakses oleh siapa saja untuk mendapatkan nilai kebenaran yang lebih tinggi yang selama ini vacant tak terisi oleh science. Dengan kata lain Islam dapat dijadikan sebagai tools untuk memperbaiki kesalahan (error) science sekaligus membimbingnya kearah yang benar, sebagai kebenaran religi yang bersifat mutlak (absolute). Pengertian absolute disini hendaknya dibedakan dengan istilah dogmatis yang selama ini dipahami oleh sebagian besar masyarakat termasuk juga kaum intelektual, sehingga memberikan stigma bahwa agama atau kebenaran religi adalah sesuatu yang tak boleh diganggu-gugat oleh tangan manusia (untouchable), dan harap diterima apa adanya (as it is).

Kesenjangan pemahaman demikian tidak akan pernah ada habisnya karena memang berasal dari premis logika yang dikembangkannya salah (logika bengkok = sesat pikir). Logika tersebut harus diluruskan dengan dua cara, yakni: (1) menjadikan sumber wahyu yang selama ini menjadi referensi kebenaran religi, sebagai informasi kebenaran untuk diteliti secara deduksi khususnya untuk mengembangkan IPTEK lunak; (2) melakukan eksplorasi terhadap teori, dalil, aksioma, dan data empiris (induksi) di lapangan terhadap sumber wahyu dan dikaji secara berdampingan dengan sumber science untuk mendapatkan overlay kebenaran keduanya. Dengan cara ini peranan agama atau religi khususnya Islam akan semakin terasa sebagai kebutuhan yang amat menyenangkan untuk digunakan dalam keseharian masyarakat, karena mereka mendaptkan apa yang jadi hajat hidupnya didunia ini; sehingga berIslamnya seseorang bukan lagi sebuah keterpaksaan dalam sebuah dogma yang mati-beku.

Sistem pendidikani dengan nama Interdisplin Sains dalam Islam (Inter-discipline Sciences in Islam) sudah waktunya dikembangkan dalam abad modern ini sebagai proptotipe kebangkitan peradaban baru yang akan menggeser peradaban saat ini yang menurut hemat saya sudah diambang kebangkrutan dilihat dari berbagiindikator fisik dan non fisik. Dengan system pendidikan yang baru dimana kurikulum yang diapaket merupakan penyatuan utuh antara nilai wahyu dan alam raya maka diharapkan para alumninya mampu menjabarkan kaedah-kaedah sains dan religi dalam bentuk cara berfikir dan tingkah laku (akhlaq) secara terpadu (integrated) dan menyeluruh (holyistic) di masyarakat sehingga dimasa depan terciptalah tatanan masyarakat yang lebih baik.

Sumber: Prof. Dr. Ir. KH. Ika Rochdjatun Sastrahidayat