Thursday, 15 May 2008

Memblokir Pornografi Demi Umat

Fahmi AP Pane (Staf Ahli Fraksi PPP DPR RI)

Dengan persetujuan bersama DPR dan pemerintah tentang RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tanggal 25 Maret, pemerintah berencana memblokir situs-situs internet porno mulai April 2008 yang bersamaan dengan sosialisasi intensif pemakaian internet, terutama ke sekolah-sekolah, masjid-masjid, dan instansi pemerintah. Dengan UU ITE, tindak pidana di dunia maya dapat lebih tersentuh hukum positif, sementara ikhtiar pembendungan situs-situs maksiat itu memperkuat aspek pencegahan dan peringatan bagi publik.
Perkembangan ini bagus dan patut didukung. Apalagi, Menkominfo Muhammad Nuh di Masjid Agung Al-Akbar Surabaya menyampaikan akan melakukan beberapa strategi, seperti imbauan moral kepada pengguna dan pengelola jaringan (administrator) di kantor, sekolah dan lembaga lain, pemasangan software pemblokir serta bekerja sama dengan penyedia jasa internet.
Meski demikian, jika tujuannya adalah membebaskan Indonesia dari gerakan syahwat merdeka, melindungi generasi muda, serta meningkatkan iman dan akhlak publik maka UU ITE dan kebijakan pemerintah masih jauh dari memadai. Solusi yang dibutuhkan bukan sekadar menciptakan landasan hukum telematika (cyber law) dan optimalisasi teknologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk mereduksi dampak buruk ICT, tapi juga memerlukan politik hukum dunia nyata dan dunia maya yang berbasis keimanan publik, meningkatkan kerja sama, dan kekuatan politik di level internasional, serta pembinaan intensif masyarakat.
Bagaimana pun, UU ITE hanya menjangkau pembuatan, distribusi, dan transmisi informasi elektronik, termasuk situs-situs internet, yang dinilai aparat hukum sebagai tindak pidana yang melanggar kesusilaan. Definisi melanggar kesusilaan tentu merujuk kembali pada KUHP, dan efektivitasnya dapat becermin dari penafsiran dan daya aparat hukum sekarang dalam memberatasnya. Jika saat ini kita tidak melihat lagi peredaran majalah yang menampilkan perempuan berbusana minim atau tidak sama sekali, termasuk di jaringan toko buku besar, dan sebagainya, maka kita optimistis UU ITE dapat menjangkaunya.
Namun, publik dan fraksi-fraksi partai Islam di DPR RI telah bertahun-tahun sejak awal reformasi mendesak pembuatan UU Pornografi dan Pornoaksi lantaran KUHP tidak berdaya menghadapi puluhan sampai ratusan modus operandi liberalisasi seksual. Itu bukan salah aparat hukum semata, tapi definisi hukum melanggar kesusilaan tidak memadai lagi, apalagi untuk disetarakan dengan definisi pornografi.
Lagi pula, bagaimana mungkin menyatakan suatu materi elektronik di dunia maya sebagai pornografi, sedangkan di dunia nyata itu tidak dianggap porno? RUU Pornografi dan Pornoaksi, yang kini dilemahkan dengan perubahan judulnya menjadi RUU Pornografi saja, telah terlalu lama dibahas. Politik hukum berbasis moralitas publik dikalahkan politik akomodatif terhadap kepentingan minoritas, tapi berkekuatan finansial dan jaringan media massa. Karenanya, RUU ini harus ditelaah lebih baik, dan diselesaikan selambatnya pada masa sidang DPR Tahun 2007-2008.
Prioritas bidang agama bukan soal haji saja, yang jika diurus memang berhubungan dengan omzet dan laba. Perlu pula diprioritaskan pembebasan Indonesia dari kemaksiatan. Para pejabat serta pemilik dan pemimpin media massa, terutama media elektronik, dapat belajar dari fenomena novel dan film Ayat-ayat Cinta bahwa yang bernuansa agamais dan bukan porno bisa jauh lebih menguntungkan.
Selain itu, efektivitas UU ITE dan kebijakan Menkominfo akan tereduksi karena pengelola, distributor, dan pengguna situs porno dapat dengan mudah mengakalinya. Modus operandinya mereka bisa mengalihkan server situsnya ke negara-negara yang bebas pornografi, seperti di Eropa. Mereka bisa mengganti alamat internetnya (internet protocol address yang berupa kode angka-angka) atau mengubah namanya hanya dengan menambah satu karakter saja. Misalnya, nama semula kucing.com diubah menjadi kucing1.com. Atau memakai nama-nama yang tidak terlalu kentara, seperti nama-nama serangga.
Hal ini kian mudah jika memanfaatkan fasilitas blog yang tersedia gratis di berbagai situs umum. Situs-situs itu sangat populer di seluruh dunia dan umumnya berbasis di AS dan Eropa, seperti blogspot, friendster, facebook, videotube, dan lain-lain. Popularitasnya tentu bukan karena ada blog-blog porno.
Namun, jika blog porno diblokir, pengelola atau distributornya dapat dengan mudah memindahkan materinya ke blog lain di situs yang sama. Cukup dengan mengganti satu dua karakter saja. Masalahnya, mungkinkah pemerintah memblokir situs-situs penyedia blog porno tersebut yang pada dasarnya situs umum?
Masalah lain adalah dari karakter blog itu sendiri. Blog mirip dengan situs, tetapi dapat dibuat sendiri untuk pribadi atau komunitas tertentu. membuat, mendesain, dan mengisi materinya sangat mudah karena sudah tersedia model (template) dan sistem pengisian materi (content management system) yang dapat dipelajari siapa pun, asalkan mau dan tidak buta huruf.
Sekarang sudah tersedia pula yang berbahasa Indonesia. Maka, banyak siswa SMP atau sebagian anak SD yang bisa membuat blog alias situs itu. Pemerintah dan gugus tugas teknisnya bisa saja bekerja keras siang malam. Namun, dengan rumus matematika kita mengetahui strategi pemerintah tidak memadai karena jumlah situs dan blog baru yang dapat dibuat untuk menghindari pemblokiran benar-benar tak terbayangkan.
Jika setiap nama situs atau blog berjumlah sepuluh karakter saja, misal ‘indonesia1', maka secara teoritis ada 13.422.659.310.152.401 kombinasi situs yang dapat dibuat. Itu dari kombinasi 26 abjad, 10 angka dan paling tidak ada lima karakter tambahan untuk mengisi sepuluh karakter nama situs atau blog. Bayangkan, hampir 13.500 triliun situs (blog).
Jumlahnya melonjak jika ditelisik basis situsnya, apakah net, com, co.il, atau lainnya. Katakanlah tidak sebanyak itu karena nama situs harus dibuat mudah dibaca dan diingat. Namun, triliunan situs (blog) memang dapat dibuat dengan tunjuk menu, ketik, dan klik, maka jadilah. Efektivitas pemblokiran pornografi baru terasa jika semua undang-undang yang diperlukan, seperti UU Pornografi, diselesaikan, juga aturan dan perangkat pelaksana. Selain itu, perlu perencanaan strategis pengembangan hukum telematika terkait dengan perkembangan teknologi.
UU ITE sendiri telat puluhan tahun karena ketika Indonesia baru mulai menyentuh teknologi elektronik, perkembangan dunia sudah menyentuh teknologi nano. Bahkan, AS sedang mengembangkan teknologi serat optik dengan teknik DWDM (dense wavelength division multiplexing) yang memanfaatkan cahaya untuk telekomunikasi (Zuhal, 2008).
Aparat dan masyarakat juga perlu diberdayakan agar ikut amar ma'ruf nahi munkar. Ini penting karena pemerintah mustahil merazia terus-menerus perangkat elektronik pribadi, seperti telepon genggam. Pemerintah pun perlu menertibkan siaran media yang berjangkauan dan berpengaruh lebih luas, yakni televisi.
Sebuah survei tahun 2007 menemukan jangkauan internet baru empat persen penduduk, sedangkan TV sudah 99 persen. Kerja sama internasional juga perlu, misal sepakat tidak mengizinkan serta memblokir produksi dan distribusi situs/blog porno, membentuk protokol kerja sama dan gugus pelaksananya, yang kemudian diratifikasi oleh setiap negara.
Kerja sama internasional itu juga harus didukung oleh kekuatan global, baik dari segi ideologi maupun kemampuan politik dan ekonominya, serta kesesuaian dengan visi dan misi umat manusia. Jika tidak, nasibnya akan seperti Protokol Kyoto soal gas rumah kaca yang tidak didukung kekuatan global saat ini, AS. Atau seperti agenda terorisme yang meski didukung AS, tapi justru menentang visi dan kepentingan umat manusia.
Ikhtisar:- Perlu langkah lain yang sinergis untuk mencegah pornografi dan pornoaksi. - Masyarakat luas berkepentingan untuk mendukung program tersebut.( )
post by HUMAS AIR (keep spirit & always up to date) ==> humas_air@yahoo.co.id

No comments:

Post a Comment

Isi dengan Hati Nurani anda tentang artikel/berita yang anda baca.